“Optimalisasi Fungsi KTR Sebagai Upaya Menurunkan Angka Perokok Baru” – Tulisan Mahasiswa Prodi S3 IKM di Media Informasi Kesehatan

Oleh : Farid Setyo N

(Dosen Prodi Kesmas FKM Univet Bantara/ Mahasiswa S3 IKM UNS)

 

Merokok merupakan perilaku yang dapat menyebabkan seseorang menderita sakit. Sakit akibat perilaku ini dapat berakibat secara langsung (perokok aktif) maupun secara tidak langsung (perokok pasif). Berbagai macam penyakit ditimbulkan akibat dari perilaku ini, diantaranya kanker paru, kanker mulut, gangguan pada perkembangan janin, penyakit jantung, bahkan sampai dengan stroke. Tentu saja penyakit-penyakit tadi tidak terjadi dalam jangka waktu singkat, diperlukan waktu yang cukup lama untuk terjadinya penyakit-penyakit tersebut. Maka sering sebagian besar perokok mengatakan “saya perokok, dan saat ini saya baik-baik saja”.

Banyak perokok dan keluarga perokok (perokok pasif) yang tidak mengetahui bahwa sebenarnya mereka sudah mengalami gejala penyakit yang disebabkan merokok. Apabila penyakit-penyakit tersebut sudah menyerang hal itu pun sudah terlambat. Merokok tidak hanya memberikan dampak kesehatan yang buruk pada perokok, akan tetapi keluarga terdekat (anak, suami / istri) pun juga dapat terdampak penyakit akibat asap rokok. Sejak tahun 2017 penyakit tidak menular merupakan penyumbang kematian tertinggi, dimana salah satu penyebabnya adalah merokok (IHME, 2020).

Berdasarkan data TCSC IAKMI tahun 2020, prevalensi merokok usia diatas 15 tahun di Indonesia sebesar 32,2 %, dimana hampir 50% provinsi prevalensinya diatas angka rata-rata nasional. Sedangkan proporsi penduduk yang mengonsumsi tembakau baik hisap maupun kunyah pada laki-laki tahun 2018 sebesar 62,9%, sedangkan pada perempuan sebesar 4,8%.Secara keseluruhan jenis kelamin rata-rata penduduk yang mengonsumsi tembakau(hisap dan kunyah) tahun 2018 sebesar 33,8%. Angka-angka tersebut menunjukkan besarnya perokok aktif secara nasional, belum lagi apabila disekitar perokok aktif tersebut juga terdapat perokok pasif. Hal ini tentu saja akan menjadikan angka penyakit akibat rokok menjadi lebih besar, dan akan diiringi dengan besarnya biaya pengobatan penyakit akibat rokok.

Merokok dapat dikatakan sebagai perilaku boros secara ekonomi, akan tetapi prosentase merokok tertinggi justru berada pada penduduk dengan kategori kekayaan terbawah (miskin) yaitu sebesar 82% jika dibandingkan penduduk dengan kategori kekayaan teratas (kaya) sebesar 58,4% (SDKI, 2017). Data tersebut menunjukkan bahwa penduduk dengan tingkat kekayaan rendah tidak memandang rokok sebagai suatu yang memberatkan dalam kehidupannya. Rokok sendiri memiliki peranan dalam tingkat kemiskinan masyarakat karena rokok sebenarnya bukan merupakan bahan makanan pokok, akan tetapi memiliki tingkat konsumsi yang tinggi, bahkan merokok menempati kebutuhan pokok kedua setelah nasi pada masyarakat miskin.

Berdasarkan hasil peneltian dari Pusat Kajian Jaminan Sosial-Universitas Indonesia tahun 2019 diketahui bahwa anak-anak dari orang tua perokok memiliki pertumbuhan berat badan rata-rata yang lebih rendah 1,5 kg apabila dibandingkan dengan keluarga yang orang tua nya bukan perokok. Hal ini menunjukkan bahwa pemenuhan gizi anak-anak dari orang tua perokok belum terpenuhi secara baik, karena alokasi pemenuhan gizi keluarga dialihkan untuk pembelian rokok. Sedangkan pada keluarga yang orang tua nya bukan perokok kebutuhan gizi anak lebih terpenuhi. Tidak terpenuhinya gizi anak selama masa pertumbuhannya akan berpotensi menyebabkan stunting. Stunting merupakan kegagalan proses pertumbuhan pada anak baik tubuh maupun otak akibat kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lama. Angka stunting secara nasional sendiri masih diangka 30,8% (Riskesdas, 2018). Terdapat kemungkinan adanya pengaruh orang tua perokok dengan kejadian stunting pada anak (perlu dilakukan penelitian).

Orang yang merokok memiliki risiko tinggi untuk menderita penyakit jantung dan pernapasan, yang apabila dihubungkan dengan pandemi Covid-19 maka orang yang merokok akan memperparah kondisi kesehatan apabila terinfeksi Covid-19. Pada perokok, ACE2 (reseptor Covid-19) dan CD209 sangat signifikan menonjol, maka hal ini akan membuat virus lebih cepat menempel. Inilah alasan mengapa orang yang merokok lebih banyak yang terinfeksi virus, karena

orang yang merokok memiliki reseptor yang lebih banyak (Prof Amin Soebandrio). Sedangkan menurut Zhao, et. Al 2020, orang yang merokok memiliki risiko mengalami keparahan sebesar dua kali lipat dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Menurut Dr Agus Dwi Susanto (Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia), terdapat 4 hal mengapa merokok dapat meningkatkan risiko terinfeksi Covid-19, 1) merokok dapat Merokok menyebabkan gangguan pada sistem imunitas, 2) merokok meningkatkan regulasi reseptor ACE2, 3) merokok menyebabkan terjadinya komorbid, 4) Aktivitas merokok meningkatkan transmisi virus ketubuh melalui media tangan yang sering memegang area mulut saat merokok.

Melepaskan rokok dari genggaman jari jemari mmg sulit dilakukan oleh perokok aktif, hal ini karena rokok mengadung zat adiktif yaitu nikotin. Proses bagaimana seseorang dapat kecanduan (adiksi) terhadap nikotin adalah ketika orang tersebut merokok maka nikotin dalam asap rokok akan merangsang reseptor α4β2 pada otak untuk pelepasan dopamin selanjutnya hormon ini akan memberikan rasa nyaman, tenang, dan rileks. Ketika hormon ini tdk muncul maka tubuh seorang perokok akan mulai merasa gelisah, cemas, dan resah. sehingga perokok tsb mulai merokok kembali utk mendapatkan rasa nyaman, tenang, dan rileks. Merokok merupakan perilaku yg sulit utk dirubah tetapi bisa untuk diubah. Kunci utama berhenti merokok adalah dengan niat.

Merokok dapat dikatakan bagian dari gaya hidup. Orang yang merokok biasanya karena terpengaruh, meniru orang-orang terdekatnya seperti keluarga, teman, lingkungan, dan iklan-iklan rokok. Maka dari itu sebagai upaya untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat mengenai bahaya dari merokok serta dampak akibat merokok perlu dilakukan upaya-upaya edukasi dan advokasi. Edukasi telah banyak dilakukan kepada masyarakat tentang bahaya atau akibat dari merokok, bahkan dalam sebungkus rokok pun telah dicantumkan Pictorial Health Warning (PHW) sebagai bagian dari upaya edukasi tentang bahaya merokok. Namun sepertinya upaya tersebut belum menurunkan angka perokok.

Advokasi telah dilakukan sebagai upaya untuk menurunkan angka perokok baru. Advokasi telah menghasilkan kebijakan diantaranya peraturan bersama antara menteri kesehatan nomor 188/MENKES/PB/I/2011 dan menteri dalam negeri nomor 7 tahun 2011, tentang pedoman pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Pada pasal 1 ayat 1 Peraturan bersama tersebut menjelaskan KTR merupakan ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan produk tembakau. Peraturan tersebut tidak berarti membatasi atau pun melarang perokok untuk merokok karena didalam peraturan tersebut juga diatur mengenai tempat khusus yang bisa digunakan bagi perokok untuk merokok, yaitu pada pasal 1 ayat dijelaskan bahwa tempat khusus untuk merokok adalah ruangan yang diperuntukkan khusus untuk kegiatan merokok yang berada di dalam KTR.

Akan tetapi upaya optimalisasi KTR sebagai sarana edukasi, dan pencegahan paparan terhadap iklan-iklan rokok perlu dikaji kembali berdasarkan pernyataan diatas. Hal ini karena masih sering dijumpai perokok merokok di KTR bukan dikawasan khusus merokok sehingga masyarakat sehat masih saja terpapar oleh asap rokok yang berisiko menyebabkan penyakit akibat rokok (pernapasan, kardiovaskular, kanker). Rokok, merokok dan iklan rokok masih ditemukan di KTR hal ini menunjukkan bahwa peraturan ini belum terimplementasi dengan baik sehingga upaya utk menurunkan paparan iklan rokok pun serasa blm efektif. Upaya seperti sosialiasi perlu digencarkan kembali untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang KTR. Tidak hanya sosialisasi saja, upaya monitorig dan evaluasi implementasi kebijakan KTR perlu juga dilakukan. Upaya monitoring dan evaluasi ini dapat melibatkan pihak terkait untuk memberikan teguran, sanksi administratif maupun denda seperti yang sudah diatur dalam peraturan-peraturan tersebut sebagai upaya untuk mengoptimalkan fungsi KTR.

Peraturan bersama ini sepertinya belum dipahami benar oleh masyarakat, meskipun juga telah dibuat pula peraturan turunan (pergub / perwali / perbup) yang mengatur mengenai KTR. Jika peraturan ini dapat terimplementasi dengan optimal serta didukung dengan kerjasama lintas sektor maka bukan hal yang mustahil untuk menekan jumlah angka perokok baru. Masyarakat sehat tetap mendapatkan hak-haknya untuk menghirup udara yang sehat tanpa asap rokok, serta hak merokok bagi perokok pun juga terpenuhi dengan adanya tempat khusus bagi perokok. Harmonisasi ini akan menciptakan toleransi yang sangat baik antara perokok dan masyarakat yang ingin hidup sehat tanpa rokok, sehingga pada akhirnya generasi-geneasi penerus bangsa ini akan menjadi generasi yang kokoh, sehat, dan produktif.

Generasi muda harus dijauhkan dari akses rokok, iklan rokok, dan orang-orang yang merokok. Perilaku merokok pada remaja bisa terbentuk karena paparan iklan rokok yang sangat massif dan menarik. Tidak hanya itu perilaku merokok pada remaja juga akan terbentuk melalui proses pengamatan terhadap orang-orang disekitarnya, misal mengamati anggota keluarganya yang merokok (ayah, paman, saudara laki-laki). Ketika seorang anak mengamati perilaku merokok orang-orang terdekatnya, kemudian memberikan penilaian bahwa merokok bukanlah sesuatu yang salah toh bapak, kakak, paman sy selalu merokok. Persepsi negatif ini mulai tercipta pada remaja sehingga kalau saya merokok pun itu bukan suatu masalah. Hal seperti ini merupakan faktor yg membentuk perilaku merokok. Untuk menghindari terbentuknya perilaku merokok maka sebaiknya remaja dijauhkan dari paparan iklan rokok dan perilaku merokok orang-orang terdekatnya, serta edukasi yang menarik dan komprehensif sehingga remaja paham benar akan bahaya dan penyakit-penyakit yang ditimbulkan dari merokok.

Berdasarkan Global Youth Tobacco Survey tahun 2019, 7 dari 10 pelajar melihat iklan atau promosi rokok saat berkunjung ke tempat-tempat perbelanjaan. Di antara pelajar yang menyaksikan iklan atau promosi rokok tersebut sebanyak 60,6 % nya mencoba untuk membeli rokok dan penjual rokok tidak mencegah atau tetap memberikan rokok meskipun mereka adalah pelajar. Hal ini merupakan permasalahan yang perlu mendapat perhatian serius. Komitmen berbagai pihak diperlukan sebagai upaya untuk menghindarkan remaja dari berbagai macam paparan iklan rokok atau akses untuk membeli rokok. Mengingat remaja merupakan generasi penerus bangsa. Paparan terhadap massif nya iklan dan promosi rokok harus diminimalisir, serta pemberian edukasi kepada para penjual rokok untuk tidak melayani ketika ada pelajar yang akan membeli rokok.

Pelajar merupakan generasi yang penting bagi masa depan bangsa. Pelajar seharusnya sehat, kuat, dan cerdas yg nantinya mampu membawa bangsa ini menjadi bangsa yang kuat secara mental, spirtual, ekonomi dan teknologi. Generasi muda harus dijauhkan dari paparan iklan rokok maupun perilaku merokok itu sendiri. Generasi perokok hanya akan menghasilkan generasi yang tidak produktif dan memberikan beban kesehatan bagi bangsa.

Optimalisasi fungsi KTR secara komprehensif dengan kegiatan edukasi secara berkesinambungan, disertai dgn kerjasama lintas sektor, dan penegakkan peraturan melalui Perda ataupun turuannya merupakan kunci untuk menurunkan angka perokok baru dan pada akhirnya akan menurunkan angka penyakit akibat rokok. Apabila angka penyakit akibat rokok menurun, maka beban kesehatan pun akan berkurang. Sehingga dapat membentuk generasi bangsa yg sehat dan produktif.

Referensi

  1. Institute for Health Metrics and Evaluation 2020 https://vizhub.healthdata.org. Retrieved from http://www.healthdata.org/: https://vizhub.healthdata.org/gbd-compare/
  2. Kementrian kesehatan RI : Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018
  3. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan nomor 188/MENKES/PB/I/2011 dan menteri dalam negeri nomor 7 tahun 2011, tentang pedoman pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
  4. BKKBN : Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2017
  5. TCSC IAKMI : Atlas Tembakau Indnesia tahun 2020
  6. WHO : Global Youth Tobacco Survey Indonesia Report 2020.

 

Artikel asli dimuat dalam Media Informasi Kesehatan pada 14 Januari 2021. Artikel dapat diakses disini